MENGENAL HUKUM-HUKUM
SARIAT ISLAM
Syari’at
Islam mempunyai 2 sumber hukum dalam menetapkan undang-undangnya, yaitu:
Al-Qur’an dan Hadits, walaupun sebagain ‘ulama’ memasukkan ijma’ dan qiyas
sebagai sumber hukum syari’at Islam. Segala ketetapan di dalam agama Islam yang
bersifat perintah, anjuran, larangan, pemberian pilihan atau yang sejenisnya
dinamakan sebagai hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum syari’at atau hukum-hukum
agama.
Hukum
syara’ adalah seruan Syari’ (pembuat hukum) yang berkaitan dengan aktivitas
hamba (manusia) berupa tuntutan, penetapan dan pemberian pilihan. Dikatakan
Syari’ tanpa menyebutkan Allah swt sebagai pembuat hukum karena agar sunnah
Nabi Muhammad saw termasuk didalamnya. Dikatakan pula “aktivitas hamba”, tidak
menggunakan mukallaf (orang yang dibebani hukum), agar hukum itu mencakup anak
kecil dan orang gila.
Secara
garis besar ada 5 macam hukum syara’ yang mesti diketahui oleh kita:
1. Wajib
2. Sunnam
4. Makruhh
3. Hara
5. Mubah
1. Wajib: para ‘ulama’ memberikan banyak
pengertian mengenainya, antara lain:
“Suatu
ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa“. Atau “Suatu
ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab”
Contoh:
makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika
seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.
Contoh
lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus
dikerjakan, jika tidak berdosalah ia.
Alasan yang
dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:
(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63
“….Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah
Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Dari ayat
diatas telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan
ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain
melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.
2. Sunnah:
“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala,
dan jika ditinggalkan tidak berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan
yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa”
Contoh:
Nabi saw bersabda:
-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا. -رواه البخاري و مسلم
Artinya:
“Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
Dalam
hadits ini ada perintah -صُمْ-
“shaumlah”, jika perintah ini dianggap wajib, maka menyalahi sabda Nabi saw
yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa kewajiban shaum itu hanya ada di
bulan Ramadhan.
..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….
“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau
bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan
yang sunnah)….” Hadits riwayat Imam Bukhari.
Dari
riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan
sedangkan lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama
“shaumlah” itu bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:
1. Sunnah
2. Mubah
Shaum
adalah suatu amalan yang berkaitan dengan ibadah, maka jika ada perintah yang
berhubungan dengan ibadah tetapi tidak wajib, maka hukumnya sunnah. Kalau
dikerjakan mendapat pahala jika meninggalkannya tidak berdosa.
Alasan
untuk menetapkan hal itu mendapat pahala adalah atas dasar firman Allah swt:
-لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ. -يونس: 26
“Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan (akan
mendapat) kebaikan dan (disediakan) tambahan (atas kebaikan yang telah
diperbuatnya)” –S.Yunus: 26-
Allah swt
memberi kabar, bahwasanya siapa saja yang berbuat baik di dunia dengan keimanan
(kepada-Nya) maka (balasan) kebaikan di akhirat untuknya, sebagai mana firman
Allah:
-هَلْ جَزَاءُ الإِحْسَانِ إِلاّ الإِحْسَانُ. –الرحمن:60
Artinya:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” S. Ar-Rahman: 60.
Kita bisa
memahami bahwa orang yang melakukan suatu kebaikan selain mendapatkan balasan
atas apa yang telah dia lakukan, terdapat pula tambahan yang disediakan, dan
tambahan ini bisa kita sebut sebagai “ganjaran”.
3. Haram:
“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh
dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu“.
Contoh:
Nabi saw bersabda:
-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني
“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“.
Hadits riwayat Imam Thabrani.
Mendatangi
tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu
dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.
Alasan
untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk
menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.
4. Makruh:
Arti makruh
secara bahasa adalah dibenci.
“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak
dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau “meninggalkannya lebih baik dari pada
melakukannya“.
Sebagai
contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan
kita memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.
Begini
penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja,
lihat Al-Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:
-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173
“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah
bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah….”
Kata إِنَّمَا dalam bahasa Arab disebut sebagai “huruf hashr” yaitu
huruf yang dipakai untuk membatas sesuatu. Kata ini diterjemahkan dengan arti:
hanya, tidak lain melainkan. Salah satu hadits Nabi saw yang menggunakan huruf
“innama” ini adalah:
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاَةِ
“Tidak lain melainkan aku diperintah berwudhu’ apabila
aku akan mengerjakan shalat“. Hadits riwayat Imam Tirmidzi.
Dengan ini
berarti bahwa wudhu hanya diwajibkan ketika akan mengerjakan shalat. Lafazh إِنَّمَا pada ayat ini ia berfungsi membatasi bahwa makanan
yang diharamkan itu hanya empat yaitu: bangkai, darah, babi dan binatang yang
disembelih bukan karena Allah. Maka kalau larangan makan binatang buas itu kita
hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang makan binatang buas
itu, menentangi Allah, ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu tidak
haram, kalau tidak haram maka hukum itu berhadapan dengan 2 kemungkinan yaitu:
mubah atau makruh. Jika dihukumkan mubah tidak tepat, karena Nabi saw melarang
bukan memerintah. Jadi larangan dari Nabi itu kita ringankan dan larangan yang
ringan itu tidak lain melainkan makruh. Maka kesimpulannya: binatang buas itu
makruh.
5. Mubah:
Arti mubah
itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan
bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu
yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa
dikenakan siksa bagi pelakunya”
Contoh:
dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” Al-A’raf:
31
Akan tetapi
perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan
ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti
dilakukan oleh seluruh manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak
bisa dielak dan menjadi kemestian bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib,
maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah wajib, jika bukan wajib maka ada
2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah atau mubah. Urusan
makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan ganjarannya
jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal
itu termasuk dalam hukum mubah.
WaLLAHU
a’lam bis shawaab
Bahan
bacaan:
• Tafsir
Ibnu Kastir
• Seri
Tafsir Ayat-ayat Hukum buku2, luthfie abdullah Ismail
• Mudzakkirah
ushulil fiqh, Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali
• Ushul
Fiqh, Dr. Husain Hamid
• Taisir
Al-Wusul ilal Ushul, ‘Atha bin Khalil diterjemkan oleh Yasin As-Siba’i BY M.Roviq Azzaqi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar